Sejak berabad-abad lalu Jakarta menjadi tempat interaksi berbagai suku bangsa, terutama dalam bingkai logistik perniagaan. Posisi ini kian mantap saat kota ini berganti nama menjadi Batavia; yaitu ketika VOC, perusahaan asal Belanda, mendirikan pos dagang sekaligus benteng di Bandar Sunda Kelapa pada 1619.
Belanda sendiri berhasil menancapkan akarnya di kota ini setelah mengalahkan Pangeran Wijayakrama serta mengusir bangsa-bangsa Eropa lainnya yang telah singgah lebih dulu, seperti Inggris dan Portugis. Fisik Batavia lalu bermetamorfosis secara bertahap seiring meluasnya kekuasaan kolonial Belanda; dari Kasteel Batavia/Oud Batavia, meluas hingga Weltevreden, Molenvliet, Koningsplein, serta penyatuan dengan Kotapraja Meester Cornelis.
Meski demikian, Belanda tak memiliki rencana besar dan tuntas tentang pembangunan Batavia. Mereka membangunnya semata-mata demi kenyamanan urusan penguasa tanpa memperhatikan kondisi lingkungan, penduduk, dan kearifan lokal. Kondisi ini terus berlanjut bahkan hingga Indonesia merdeka dan kota ini bernama Jakarta. Perencanaan kota dijalankan secara sporadis. Akibatnya jelas: berbagai masalah sosial muncul ke permukaan dan yang paling bikin penat dan merugikan adalah kemacetan lalu lintas.
Freek Colombijn, sejarawan dan antropolog budaya Universitas Leiden berspesialisasi perkotaan Indonesia yang meraih gelar doktor pada 1994, sampai berujar:
Rencana Pendahuluan Penataan Ibu Kota baru diinisiasi ketika Kotapraja dijabat Walikota Sudiro (1953-1959). Sudiro dikenang terutama karena ia merupakan orang yang merumuskan pembangunan Jakarta dalam empat unsur primer, yakni wisma (rumah), karya (lapangan kerja), marga (transportasi), dan suka (rekreasi dan fasilitas umum). Sudiro juga dikenang karena mendorong 22 Juni menjadi hari ulang tahun Kota Jakarta.
Cikal bakal pembangunan MRT dimulai sejak 1982 ditandai dengan kajian tentang sistem transportasi yang melibatkan Japan International Cooperation Agency (JICA), yang menelurkan Rencana Penataan Transportasi Jabodetabek 1982 - 2020. Rancangan ini selesai disusun pada 1985, sehingga biasa disebut ”Rencana Induk 1985 ”.
Pada masa kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin, pernah tersusun "Djakarta Master Plan 1965-1985" yang juga mencakup arahan penataan transportasi. Arahan ini kemudian menjadi pedoman untuk menyusun rencana induk khusus moda transportasi kereta api kawasan Jabodetabek, yang dinamakan "Master Plan 1982-2002"
Pada masa Gubernur Soeprapto, diterbitkan juga rencana induk Provinsi DKI Jakarta periode 1985-2005, yang disebut ”Rencana Umum Tata-Ruang dan Rencana Bahagian Wilayah Kota”. Rencana Induk 1985 menjadi dokumen penting hingga mendorong munculnya kajian-kajian lanjutan.
Beberapa tahun kemudian, terbit tiga kajian yang terdapat dalam Rencana Induk 1985, yakni bahwa koridor KA Utara-Selatan merupakan jalur yang paling layak untuk dibangun terlebih dulu.
Karena keragaman perspektif dari tiga kajian ini, pada 1993 Menteri Perhubungan (Menhub) Haryanto Dhanutirto memimpin langsung konsolidasi ketiga kajian tersebut. Hasilnya berupa rancangan yang disebut Consolidated Network Plan (CNP). Oleh Menhub, CNP diserahkan kepada lembaga berwewenang untuk pengesahannya. Salah satu kesimpulan sekaligus rekomendasi penting dari CNP adalah Mass Rapid Transit merupakan moda transportasi paling layak dan tepat untuk Jakarta.
Skema BOT, build-operate-transfer—atau dalam bahasa Indonesia disebut ”bangun-guna-serah”—adalah bentuk pendanaan proyek saat suatu entitas swasta menerima konsesi dari entitas lain (umumnya entitas sektor publik) untuk mendanai, merancang, membangun, dan mengoperasikan suatu fasilitas yang dinyatakan dalam kontrak konsesi.
Persiapan-persiapan proyek dilakukan selama 1995-1997. Pada April 1995, Gubernur Soerjadi Soedirdja membentuk UMP Saumaja (Sistem Angkutan Umum Massal Jakarta) yang bertugas menyusun basic design, termasuk studi kelayakan dan studi pendahuluan Proyek Saumaja, dan dilanjutkan dengan pencarian investor untuk pendanaan. Namun, rencana proyek MRT ini sempat berhenti karena krisis ekonomi pada 1998.
Proyek MRT hadir di Jakarta berkat pelaksanaan proyek transportasi massal yang dilaksanakan secara serius sejak era Gubernur Sutiyoso (1997-2007). Transjakarta (TJ) menjadi pemulanya. Tak puas dengan hanya TJ, Sutiyoso mengajukan MRT ke pemerintah pusat.
Usaha Sutiyoso dilanjutkan Gubernur Fauzi Bowo (2007- 2012), di antaranya dengan mendirikan PT MRT Jakarta pada 2008. Di hadapan jajaran serta mitra strategis Pemprov DKI Jakarta, pada 26 April 2012 Fauzi Bowo secara resmi meletakkan batu pertama pembangunan (groundbreaking I) proyek MRT Tahap I Koridor Selatan-Utara sepanjang 15,7 km dari Lebak Bulus- Bundaran HI.
Setelah peletakan batu pertama, Pemprov DKI Jakarta memindahkan Terminal Lebak Bulus, Stadion Lebak Bulus, mengelola utilitas, memperlebar Jalan Fatmawati, dan membuka tender. Sesuai rencana, pembangunan fisik pun dimulai pada 2013. Adalah Gubernur Joko Widodo yang meneruskan estafet pembangunan MRT selanjutnya.